Tafsir Ringkas Surah Taha Surah 20, Ayat 1-8
“طه” Huruf muqaththa’ah ini, yang dengannya sejumlah surah dimulai, adalah untuk membuat orang yang diajak bicara memerhatikan apa yang akan disampaikan setelahnya. Huruf muqaththa’ah ini juga untuk mencabar orang-orang Arab agar mendatangkan sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an kerana Al-Qur’an tersebut terdiri dari huruf-huruf dari bahasa yang mereka tuturkan dan mereka gunakan untuk tulis-menulis. Satu pendapat mengatakan bahawa (طه) adalah salah satu nama Nabi saw., dan ertinya adalah (طَأَ الأَرْضُ يَا مُحَمَّد) “Pijaklah bumi wahai Muhammad.” Ibnu al-Anbari berkata, “Ini kerana Nabi saw dahulu menanggung beratnya beban solat, hingga kedua telapaknya hampir bengkak-bengkak dan beliau memerlukan istirahat, maka dikatakan kepada beliau, ‘Pijaklah bumi’, ertinya jangan kamu terlalu meletihkan dirimu ketika solat, sebab kamu perlu mengistirahatkan kedua kakimu.”
(مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى، إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى) Kami tidak menurunkan Al-Qur’an kepadamu untuk membuatmu susah sebab kesedihanmu terhadap mereka dan terhadap kekafiran mereka, serta penyesalanmu yang mendalam kerana mereka tidak beriman. Kerana sesungguhnya keimanan mereka bukan menjadi tanggungjawabmu, tetapi Kami menurunkan Al-Qur’an agar kamu menyampaikannya dan mengingatkan masyarakat dengannya. Cukuplah bagimu untuk menyampaikan dan mengingatkan. Setelah itu, kamu tidak perlu peduli terhadap berpalingnya orang-orang yang membangkang. Juga janganlah kamu membebani dan meletihkan dirimu untuk membuat mereka menerima dakwahmu.
Ayat yang maknanya dekat dengan ayat ini adalah firman Allah SWT,
“Maka barangkali engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu kerana bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al- Qur’an).”
(Al-Kahf 18:6)
Makna firman Allah SWT, (لِتَشْقَىٰٓ) sebabkan kesedihanmu yang mendalam terhadap mereka dan kekafiran mereka, serta penyesalanmu kerana mereka tidak beriman.
Juwaibir meriwayatkan dari adh-Dhahhak ia berkata – dan ia bersama Muqatil -, “Ketika Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah saw, beliau dan para sahabat membacanya ketika melakukan solat. Orang-orang musyrik dari kalangan Quraisy berkata, ‘Allah tidaklah menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad, melainkan untuk membuatnya sengsara.”
Lalu Allah menurunkan (طه (١) مَآ أَنزَلْنَا عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ لِتَشْقَىٰٓ(٢) إِلَّا تَذْكِرَةًۭ لِّمَن يَخْشَىٰ(٣
Yang benar bukanlah seperti angan-angan orang-orang yang tidak mahu beriman, sedangkan orang yang diberi ilmu oleh Allah, maka Allah menginginkan kebaikan untuknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Sahih Bukhari dan Muslim, dari Mu’awiyah, ia berkata, bahawa Rasulullah saw. bersabda,
Jika Allah menginginkan kebaikan pada seorang hamba, maka Dia membuatnya memahami agama.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Kami tidaklah menurunkan Al-Qur’an kecuali sebagai pengingat agar dengannya kamu mengingatkan orang yang takut dari azab Allah dan agar dia mendapatkan manfaat dari- Nya. Kerana Al-Qur’an Kami jadikan sebagai rahmat, cahaya dan petunjuk menuju syurga. Kamu tidak harus memaksa mereka untuk beriman,
“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).”
(Asy-Syuuraa: 42:48)
“Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”
(Al-Ghaasyiyah 88:22)
Dalam ayat-ayat ini terkandung ketenangan untuk Nabi SAW dalam menghadapi keengganan kaum baginda dari dakwah baginda, juga untuk menghilangkan kesusahan yang beliau rasakan kerana sikap mereka yang berdegil di dalam kekafiran.
Al-Hafizh Abu al-Qasim ath-Thabrani meriwayatkan dari Tsa’labah bin al-Hakam, ia berkata, bahawa Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya:
“Allah SWT berfirman kepada para ulama pada hari Kiamat, ketika Dia duduk di atas kursi-Nya untuk mengadili para hamba-Nya, Sesungguhnya Aku tidak menjadikan ilmu-Ku dan hikmah-Ku pada kalian kecuali Aku ingin mengampuni semua dosa kalian dan Aku tidak peduli (dengan lainnya, seperti diterimanya dakwah, ed.).”
(HR ath-Thabrani)
(إِلَّا) di dalam ayat di atas, boleh jadi sebagai istitsnaa’ munqathi’ (pengecualian yang terputus) yang bererti lakin (tetapi), atau istitsnaa’ muttashil (pengecualian yang bersambung dengan sebelumnya), sehingga makna ayatnya adalah, “Kami tidaklah menurunkan Al-Qur’an kepadamu agar kamu memikul berbagai kesulitan dalam menyampaikan dakwah, tetapi agar Al-Qur’an ini menjadi pengingat.”
Al-Qur’an dikhususkan sebagai pengingat untuk orang-orang yang takut kepada Allah kerana hanya merekalah yang mendapatkan manfaat dari peringatan tersebut, walaupun Al- Qur’an itu sendiri umum untuk semua orang. Ini seperti firman Allah SWT,
“Petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
(Al-Baqarah 2:2)
Dalil bagi keumuman tersebut adalah firman Allah SWT,
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya Furqan (Al-Qur’an) (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia),”
(Al-Furqaan 25:1)
Aspek Al-Qur’an sebagai peringatan adalah bahawa Nabi SAW memberi nasihat dengan Al- Qur’an dan dengan menjelaskannya kepada orang ramai.
(تَنْزِيلًا مِّمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَاواتِ الْعُلى) Al-Qur’an yang datang kepadamu wahai Muhammad adalah turun dari Pencipta bumi dan langit-langit yang tinggi. Maksud dari kata bumi dan langit ini adalah arah bawah dan atas; bumi dengan posisinya yang rendah dan kepadatannya, langit dengan ketinggian dan kelembutannya.
Tujuan dari ayat ini adalah memberi maklumat kepada para hamba tentang kesempurnaan dan keagungan Zat yang menurunkan Al-Qur’an, agar mereka menempatkan Al-Qur’an sesuai dengan kadar kemuliaannya.
(الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) yang menurunkan Al-Qur’an adalah ar-Rahman yang melimpahkan nikmat-nikmat yang besar dan nikmat-nikmat yang kecil. Dialah yang Maha Tinggi di atas Arsy. Manusia tidak tahu maksud dari di atas Arsy tersebut, tetapi kita beriman dengannya sebagaimana cara para salaf soleh yang beriman dengan sifat-sifat Allah tanpa adanya penyelewengan dan tafsiran, tanpa penyerupaan dan penyamaan dengan makhluk-Nya, serta tanpa menafikannya. Maka istiwaa’ (bersemayam) ini adalah yang sesuai dengan kekuasaan dan keagungan Allah, tanpa cara dan batasan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT,
“Tangan Allah di atas tangan mereka.”
(Al-Fath 48:10)
Allah SWT tidak berbentuk tubuh dan tidak menyerupai makhluk sama sekali, sedangkan Arsy adalah makhluk yang tidak kita ketahui hakikatnya.
Para ulama moden (khalaf) mentafsirkan sifat-sifat Allah, sehingga menurut mereka yang dimaksud dengan istiwaa’ bagi Allah adalah berkuasa, menguasai dan memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan apa pun. Arsy adalah kerajaan, tangan, dan kekuasaan.
(لَهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ ٱلثَّرَىٰ) Allah yang menurunkan Al-Qur’an, Dia juga pemilik langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya. Dia juga pemilik dan pengatur segala sesuatu, serta pemilik kekuasaan untuk berbuat apa pun terhadap segala sesuatu.
Seluruh alam adalah milik-Nya, di bawah pengaturan-Nya dan di bawah kekuasaan-Nya. Yakni, sesungguhnya yang menurunkan Al-Qur’an adalah juga pemilik langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya, pemilik, pengatur, dan penguasa segala sesuatu, serta pemilik segala sesuatu yang ada di bawah tanah. Maka kepemilikan, pengaturan, dan kekuasaan atas semua makhluk adalah milik Allah.
(وَإِن تَجْهَرْ بِٱلْقَوْلِ فَإِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلسِّرَّ وَأَخْفَى) Jika kamu berdoa dan berzikir kepada Allah, Dia Maha Tahu terhadap yang jelas dan yang tersembunyi, bahkan terhadap sesuatu yang lebih tersembunyi dari apa yang terlintas di dalam hati atau pembicaraan seseorang dengan dirinya sendiri. Kerana semua itu adalah sama bagi pengetahuan Allah Azza wa Jalla.
Jika kamu berzikir dan berdoa kepada Allah dengan jahr (suara keras), ketahuilah bahawa Allah tidak memerlukan hal itu kerana Dia Maha Tahu suara senyap dan lebih lembut dari suara yang paling senyap.
Adapun diucapkannya doa dan zikir di lisan, itu untuk membantu hati dalam berdoa dan berzikir, menggambarkan maknanya, menyibukkan pancaindera dengan apa yang diminta dan membuatnya tidak memikirkan masalah lain. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT,
“Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara,”
(Al-A`raf 7: 205)
(اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى) sifat-sifat sempurna di atas adalah milik Allah, Zat Yang berhak untuk disembah dengan sesungguhnya yang tiada tuhan selain Dia. Dia memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang menunjukkan puncak kesempurnaan, kesucian dan keagungan. Jum-lah nama dan sifat itu adalah sembilan puluh sembilan sebagaimana disebutkan di dalam hadis sahih yang telah disebutkan dalam tafsir surah al-A’raaf (ayat 110). Dia juga memiliki perbuatan-perbuatan yang muncul dari kesempurnaan hikmah dan kebenaran.
Dengan ini menjadi jelas bahwa ayat-ayat di atas menjelaskan tentang Zat Yang menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW bahwa Dia adalah Pencipta bumi dan langit. Dia adalah Ar-Rahman (Maha Penyayang), pemilik semua nikmat Dia istawaa (bersemayam) di atas Arsy dan Pemilik kekuasaan dalam mengatur alam raya. Dialah yang memiliki, mengatur, dan menguasai semua alam raya. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Bagi-Nya yang senyap dan keras adalah sama.
Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia. Dia memiliki nama-nama terbaik, sifat-sifat tertinggi dan perbuatan-perbuatan yang benar.
Maka apakah setelah dijelaskannya sifat- sifat Allah di atas ada orang yang menuntut bahawa Al-Qur’an adalah dari selain Allah? Apakah dapat dibenarkan menjadikan berhala yang dibuat daripada batu, kayu atau logam sebagai sekutu bagi Allah?
Oleh kerana itu, Umar bin Khattab RA, ketika masih dalam keadaan jahiliyah, dengan akal terbuka ia segera memeluk Islam dan beriman ketika saudarinya membacakan ayat-ayat di atas kepadanya.
Sumber: Tafsir Al-Munir Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili Jilid 8
Leave a comment